DI ANTARA pemberian prioritas yang dibenarkan oleh agama ialah prioritas ilmu atas amal. Ilmu itu harus didahulukan atasamal, karena ilmu merupakan petunjuk dan pemberi arah amal yang akan dilakukan. Dalam hadits Mu’adz disebutkan, “ilmu, itu pemimpin, dan amal adalah pengikutnya.” Oleh sebab itu, Imam Bukhari meletakkan satu bab tentang ilmu dalam Jami’ Shahih-nya, dengan judul “Ilmu itu Mendahului Perkataan dan Perbuatan.” Para pemberi syarah atas buku ini menjelaskan bahwa ilmu yang dimaksudkan dalam judul itu harus menjadi syarat bagi ke-shahih-an perkataan dan perbuatan seseorang. Kedua hal itu tidak dianggap shahih kecuali dengan ilmu; sehingga ilmu itu didahulukan atas keduanya. Ilmulah yang membenarkan niat dan membetulkan perbuatan yang akan dilakukan. Mereka mengatakan: “Bukhari ingin mengingatkan orang kepada persoalan ini, sehingga mereka tidak salah mengerti dengan pernyataan ‘ilmu itu tidak bermanfaat kecuali disertai dengan amal yang pada gilirannya mereka meremehkan ilmu pengetahuan dan enggan mencarinya.” Bukhari mengemukakan alasan bagi pernyataannya itu dengan mengemukakan sebagian ayat al-Qur’an dan hadits Nabi saw: “Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Allah dan mohonlah ampunan atas dosamu dan atas dosa orang-orang mu’min, laki-laki dan perempuan…” (Muhammad: 19) Oleh karena itu, Rasulullah saw pertama-tama memerintahkan umatnya untuk menguasai ilmu tauhid, baru kemudian memohonkan ampunan yang berupa amal perbuatan. Walaupun perintah di dalam ayat itu ditujukan kepada Nabi saw, tetapi ayat ini juga mencakup umatnya. Dalil yang lainnya ialah ayat berikut ini: “… Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama…” (Fathir: 28) Ilmu pengetahuanlah yang menyebabkan rasa takut kepada Allah, dan mendorong manusia kepada amal perbuatan. Sementara dalil yang berasal dari hadits ialah sabda Rasulullah saw: “Barangsiapa dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka dia akan diberi-Nya pemahaman tentang agamanya.”2 Karena bila dia memahami ajaran agamanya, dia akan beramal, dan melakukan amalan itu dengan baik. Dalil lain yang menunjukkan kebenaran tindakan kita mendahulukan ilmu atas amal ialah bahwa ayat yang pertama kali diturunkan ialah “Bacalah.” Dan membaca ialah kunci ilmu pengetahuan; dan setelah itu baru diturunkan ayat yang berkaitan dengan kerja; sebagai berikut: “Hai orang yang berselimut. Bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan Tuhanmu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah.” (al-Muddatstsir: 1-4) Sesungguhnya ilmu pengetahuan mesti didahulukan atas amal perbuatan, karena ilmu pengetahuanlah yang mampu membedakan antara yang haq dan yang bathil dalam keyakinan umat manusia; antara yang benar dan yang salah di dalam perkataan mereka;antara perbuatan-perbuatan yang disunatkan dan yang bid’ah dalam ibadah; antara yang benar dan yang tidak benar di dalam melakukan muamalah; antara tindakan yang halal dan tindakan yang haram; antara yang terpuji dan yang hina di dalam akhlak manusia; antara ukuran yang diterima dan ukuran yang ditolak; antara perbuatan dan perkataan yang bisa diterima dan yang tidak dapat diterima. Oleh sebab itu, kita seringkali menemukan ulama pendahulu kita yang memulai karangan mereka dengan bab tentang ilmu pengetahuan. Sebagaimana yang dilakukan oleh Imam al-Ghazali ketika menulis buku Ihya’ ‘Ulum al-Din; dan Minhaj al-’Abidin. Begitu pula yang dilakukan oleh al-Hafizh al-Mundziri dengan bukunya at-Targhib wat-Tarhib. Setelah dia menyebutkan hadits-hadits tentang niat, keikhlasan, mengikuti petunjuk al-Qur’an dan sunnah Nabi saw; baru dia menulis bab tentang ilmu pengetahuan. Fiqh prioritas yang sedang kita perbincangkan ini dasar dan porosnya ialah ilmu pengetahuan. Dengan ilmu pengetahuan kita dapat mengetahui apa yang mesti didahulukan dan apa yang harus diakhirkan. Tanpa ilmu pengetahuan kita akan kehilangan arah, dan melakukan tindakan yang tidak karuan. Benarlah apa yang pernah diucapkan oleh khalifah Umar bin Abd al-Aziz, “Barangsiapa melakukan suatu pekerjaan tanpa ilmu pengetahuan tentang itu maka apa yang dia rusak lebih banyak daripada apa yang dia perbaiki.”3 Keadaan seperti ini tampak dengan jelas pada sebagian kelompok kaum Muslimin, yang tidak kurang kadar ketaqwaan, keikhlasan, dan semangatnya; tetapi mereka tidak mempunyai ilmu pengetahuan, pemahaman terhadap tujuan ajaran agama, dan hakikat agama itu sendiri. Seperti itulah sifat kaum Khawarij yang memerangi Ali bin Abu Thalib r.a. yang banyak memiliki keutamaan dan sumbangan kepada Islam, serta memiliki kedudukan yang sangat dekat dengan Rasulullah saw dari segi nasab, sekaligus menantu beliau yang sangat dicintai oleh beliau. Kaum Khawarij menghalalkan darahnya dan darah kaum Muslimin yang mendekatkan diri mereka kepada Allah SWT. Mereka, kaum Khawarij ini, merupakan kelanjutan dari orang-orang yang pernah menentang pembagian harta yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw, yang berkata kepada beliau dengan kasar dan penuh kebodohan: “Berbuat adillah engkau ini!” Maka beliau bersabda, “Celaka engkau! Siapa lagi yang adil, apabila aku tidak bertindak adil. Kalau aku tidak adil, maka engkau akan sia-sia dan merugi. ” Dalam sebuah riwayat disebutkan, “Sesungguhnya perkataan kasar yang disampaikan kepada Rasulullah saw ialah ‘Wahai Rasulullah, bertaqwalah engkau kepada Allah.” Maka Rasulullah saw menyergah ucapan itu sambil berkat, “Bukankah aku penghuni bumi yang paling bertaqwa kepada Allah?” Orang yang mengucapkan perkataan itu sama sekali tidak memahami siasat Rasulullah saw untuk menundukkan hati orang-orang yang baru masuk Islam, dan pengambilan berbagai kemaslahatan besar bagi umatnya, sebagaimana yang telahdisyari’ahkan oleh Allah SWT dalam kitab suci-Nya. Rasulullah saw diberi hak untuk melakukan tindakan terhadap shadaqah yang diberikan oleh kaum Muslimin. Lalu bagaimana halnya dengan harta pampasan perang? Ketika sebagian sahabat memohon izin kepada Rasulullah saw untuk membunuh para pembangkang itu, beliau yang mulia melarangnya; kemudian memperingatkan mereka tentang munculnya kelompok orang seperti itu dengan bersabda: “Kalian akan meremehkan (kuantitas) shalat kalian dibandinglan dengan shalat yang mereka lakukan, meremehkan (kuantitas ) puasa kalian dibandingkan dengan puasa yang mereka lakukan; dan kalian akan meremehkan (kuantitas) amal kalian dibandingkan dengan amal mereka. Mereka membaca al-Qur’an tetapi tidak lebih dari kerongkongan mereka. Mereka menyimpang dari agama (ad-Din) bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya.” Makna ungkapan “fidak lebih dari kerongkongan mereka” ialah bahwa hati mereka tidak memahami apa yang mereka baca, dan akal mereka tidak diterangi dengan bacaan ayat-ayat itu. Mereka sama sekali tidak memanfaatkan apa yang mereka baca itu, walaupun mereka banyak mendirikan shalat dan melakukan puasa. Di antara sifat yang ditunjukkan oleh Nabi tentang kelompok itu ialah bahwa, “Mereka membunuh orang Islam dan membiarkan penyembah berhala.”4 Kesalahan fatal yang dilakukan oleh mereka bukanlah terletak pada perasaan dan niat mereka, tetapi lebih berada pada akal pikiran dan pemahaman mereka. Oleh karena itu, mereka dikatakan dalam hadits yang lain sebagai: “Orang-orang muda yang memilih impian yang bodoh.” 5 Mereka baru diberi sedikit ilmu pengetahuan, dengan pemahaman yang tidak sempurna, tetapi mereka tidak mau memanfaatkan kitab Allah padahal mereka membacanya dengan sangat baik, tetapi bacaan yang tidak disertai dengan pemahaman. Mungkin mereka memahaminya dengan cara yang tidak benar, sehingga bertentangan dengan maksud ayat yang diturunkan oleh Allah SWT. Oleh karena itu, Imam Hasan al-Bashri memperingatkan orang yang tekun beribadah dan beramal, tetapi tidak membentenginya dengan ilmu pengetahuan dan pemahaman. Dia mengucapkan perkataan yang sangat dalam artinya, “Orang yang beramal tetapi tidak disertai dengan ilmu pengetahuan tentang itu, bagaikan orang yang melangkahkan kaki tetapi tidak meniti jalan yang benar. Orang yang melakukan sesuatu tetapi tidak memiliki pengetahuan tentang sesuatu itu, maka dia akan membuat kerusakan yang lebih banyak daripada perbaikan yang dilakukan. Carilah ilmu selama ia tidak mengganggu ibadah yang engkau lakukan. Dan beribadahlah selama ibadah itu tidak mengganggu pencarian ilmu pengetahuan. Karena ada sebagian kaum Muslimin yang melakukan ibadah, tetapi mereka meninggalkan ilmu pengetahuan, sehingga mereka keluar dengan pedang mereka untuk membunuh umat Muhammad saw. Kalau mereka mau mencari ilmu pengetahuan, niscaya mereka tidak akan melakukan seperti apa yang mereka lakukan itu.”6 ILMU MERUPAKAN SYARAT BAGI PROFESI KEPEMIMPINAN (POLITIK, MILITER, DAN KEHAKIMAN) Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa ilmu pengetahuan merupakan syarat bagi semua profesi kepemimpinan, baik dalam bidang politik maupun administrasi. Sebagaimana yang dilakukan oleh Yusuf as ketika berkata kepada Raja Mesir: ” … sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami.” Berkata Yusuf: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir), sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.” (Yusuf: 54-55) Yusuf as menunjukkan keahliannya dalam pekerjaan besar yang ditawarkan kepadanya, yang mencakup pengurusan keuangan, ekonomi, perancangan, pertanian, dan logistik pada waktu itu. Yang terkandung di dalam keahlian itu ada dua hal; yakni penjagaan (yang lebih tepat dikatakan “kejujuran”) dan ilmu pengetahuan (yang dimaksudkan di sini ialah pengalaman dan kemampuan). Kenyataan itu sesuai dengan apa yang dikatakan oleh salah seorang anak perempuan Nabi besar dalam surah al-Qashash: “… karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (al-Qashash: 26) Ia juga dapat dijadikan sebagai pedoman dalam dunia militer; sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT ketika memberikan alasan bagi pemilihan Thalut sebagai raja atas bani Israil: “… Nabi (mereka) berkata, “Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi rajamu dan menganugerahinya ilmu pengetahuan yang luas dan tubuh yang perkasa…” (al-Baqarah, 247) Pedoman itu juga sepatutnya diberlakukan dalam dunia kehakiman, sehingga orang-orang yang hendak diangkat menjadi hakim diharuskan memenuhi syarat seperti syarat yang diberlakukan bagi orang yang hendak menjadi khalifah. Untuk menjadi hakim itu tidak cukup hanya dengan menyandang sebagai ulama yang bertaqlid kepada ulama lainnya. Karena pada dasarnya, ilmu pengetahuan merupakan kebenaran itu sendiri dengan berbagai dalilnya, dan bukan ilmu pengetahuan yang diberitahukan oleh Zaid atau Amr. Orang-orang yang bertaqlid kepada manusia yang lainnya tanpa ada alasan yang membenarkan tindakannya, atau ada alasannya tetapi sangat lemah, maka orang itu dianggap tidak mempunyai ilmu pengetahuan. Keputusan hukum yang diterima dari orang yang melakukan taqlid, adalah sama dengan kekuasaan yang dilakukan oleh orang yang tidak mempunyai ilmu pengetahuan, yang sangat penting. Akan tetapi ada batasan-batasan tertentu dan minimal bagi ilmu pengetahuan yang mesti dikuasai oleh hakim itu. Jika tidak, maka dia akan membuat keputusan hukum berdasarkan kebodohan dan akan menjadikannya sebagai penghuni neraka. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Buraidah dari Rasulullah saw bersabda, “Ada tiga golongan hakim. Dua golongan berada di neraka, dan satu golongan lagi berada di surga. Yaitu seorang yang mengetahui kebenaran kemudian dia membuat keputusan hukum dengan kebenaran itu, maka dia berada di surga. Seorang yang memberikan keputusan hukum yang didasarkan atas kebodohannya, maka dia berada dineraka. Kemudian seorang yang mengetahui kebenaran tetapi dia melakukan kezaliman dalam membuat keputusan hukum, maka dia berada di neraka.”7 PENTINGNYA ILMU PENGETAHUAN BAGI MUFTI (PEMBERI FATWA) Persoalan yang serupa dengan kehakiman ialah pemberian fatwa. Seseorang tidak boleh memberikan fatwa kepada manusia kecuali dia seorang yang betul-betul ahli dalam bidangnya, dan memahami ajaran agamanya. Jika tidak, maka dia akan mengharamkan yang halal dan menghalalkan hal-hal yang haram; menggugurkan kewajiban, mewajibkan sesuatu yang tidak wajib, menetapkan hal-hal yang bid’ah dan membid’ahkan hal-hal yang disyariahkan; mengkafirkan orang-orang yang beriman dan membenarkan orang-orang kafir. Semua persoalan itu, atau sebagiannya, terjadi karena ketiadaan ilmu dan fiqh. Apalagi bila hal itu disertai dengan keberanian yang sangat berlebihan dalam memberikan fatwa, serta melanggar larangan bagi siapa yang mau melakukannya. Hal ini dapat kita lihat pada zaman kita sekarang ini, di mana urusan agama telah menjadi barang santapan yang empuk bagi siapa saja yang mau menyantapnya; asal memiliki kemahiran dalam berpidato, keterampilan menulis; padahal al-Qur’an, sunnah Nabi saw, dan generasi terdahulu umat ini sangat berhati-hati dalam menjaga hal ini. Tidak ada orang yang berani melakukan hal itu kecuali orang-orang yang benar-benar mempunyai keahlian di dalam bidangnya, serta memenuhi syarat untuk persoalan tersebut. Betapa sulit sebenarnya untuk memenuhi syarat-syarat itu. Sebenarnya Nabi saw sangat tidak suka kepada orang yang tergesa-gesa memberikan fatwa pada zamannya. Ada sebagian orang yang memberikan fatwa kepada salah seorang di antara mereka yang terluka ketika mereka berjinabat untuk mandi, tanpa mempedulikan luka yang dideritanya. Sehingga hal itu menyebabkan kematiannya. Maka Rasulullah saw bersabda, “Karena mereka telah membunuhnya, maka semoga Allah akan membunuh mereka! Tidakkah mereka bertanya apabila mereka tidak tahu. Sebenarnya kalau mereka mau bertanya, maka orang itu bisa sembuh. Sebenarnya bagi orang seperti itu hanya cukup bertayammum saja…” 8 Lihatlah bagaimana Rasulullah saw menganggap bahwa fatwa yang diberikan oleh mereka sama dengan pembunuhan terhadap orang tersebut, sehingga beliau mendoakan mereka, “Semoga Allah juga membunuh mereka.” Oleh karena itu, fatwa yang keluar dari kebodohan dapat membunuh jiwa dan membawa kerusakan. Dan pada akhirnya, Ibn al-Qayyim dan ulama yang lainnya sepakat untuk mengharamkan pemberian fatwa dalam urusan agama tanpa disertai dengan ilmu pengetahuan; berdasarkan firman Allah SWT: “… dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (al-A’raf: 33) Banyak sekali hadits, qaul sahabat, dan generasi terdahulu umat ini yang melarang pemberian fatwa bagi orang-orang yang tidak berilmu pengetahuan. Ibn Sirin berkata, “Seorang lelaki yang mati dalam keadaan bodoh itu lebih baik daripada dia mati dalam keadaan berkata tentang sesuatu yang dia tidak mempunyai ilmu pengetahuan tentang itu.” Abu Hushain al-Asy’ari berkata, “Sesungguhnya salah seorang di antara mereka ada yang memberi fatwa dalam suatu masalah. Jika hal ini berlaku pada zaman Umar, maka dia akan mengumpulkan para pejuang Perang Badar.” Lalu, bagaimana bila Umar melihat keberanian orang pada zaman kita sekarang ini? Ibn Mas’ud dan Ibn ‘Abbas berkata, “Barangsiapa memberi fatwa kepada orang ramai tentang apa saja yang mereka tanyakan kepadanya, maka dia termasuk orang gila.” Abu Bakar berkata, “kangit mana yang melindungi diriku dan bumi mana yang akan menjadi tempat pijakanku, kalau aku mengatakan sesuatu yang tidak kuketahui.” Ali berkata, “Hatiku menjadi sangat tenang –dia mengucapkannya sebanyak tiga kali– bila ada seorang lelaki yang ditanya tentang sesuatu yang dia ketahui, tetapi dia tetap mengatakan, ‘Allah yang Maha Tahu.’” Ibn al-Musayyab, tokoh senior tabi’in, apabila dia hendak memberikan fatwa dia berkata, “Ya Allah, selamatkan aku, dan benarkan apa yang keluar dari diriku.” Semua ini menunjukkan bahwa kita perlu sangat berhati-hati dalam memberikan fatwa. Selain itu, fatwa harus diberikan oleh orang-orang yang betul-betul memiliki ilmu pengetahuan, wawasan yang luas, wara’, yang menjaga diri dari setiap kemaksiatan, tidak menuruti hawa nafsunya sendiri atau hawa nafsu orang lain. Atas dasar uraian tersebut, sangatlah mengherankan bila para pelajar ilmu syariah –kebanyakan pelajar yang baru masuk pada fakultas ini– tergesa gesa memberikan fatwa dalam berbagai persoalan yang sangat pelik, problema yang sangat penting, mendahului para ulama besar, dan bahkan berani menentang para imam mazhab besar, para sahabat yang mulia, dengan menyombongkan diri seraya mengatakan, “Mereka orang lelaki, dan kamipun orang lelaki.” Pertama-tama yang diperlukan oleh seseorang yang hendak memberikan fatwa ialah mengukur kemampuan dirinya sendiri, kemudian memahami berbagai tujuan syari’ah, memahami hakikat dan kenyataan hidup. Akan tetapi,sangat disayangkan bahwa mereka tertutup oleh penghalang yang sangat besar, yaitu ketertipuan dengan diri mereka sendiri. Sesungguhnya tiada daya dan kekuatan kecuali dari Allah SWT. PENTINGNYA ILMU PENGETAHUAN BAGI DA’I DAN GURU (MUROBI) Jika ilmu pengetahuan harus dimiliki oleh orang yang bergelut dalam dunia kehakiman dan fatwa, maka dia juga diperlukan oleh dunia da’wah dan pendidikan. Allah SWT berfirman: “Katakanlah: “Inilah jalan (agama)-ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata…” (Yusuf: 108) Setiap juru da’wah –dari pengikut Nabi saw– harus melandasi da’wahnya dengan hujjah yang nyata. Artinya, da’wah yang dilakukan olehnya mesti jelas, berdasarkan kepada hujjah-hujjah yang jelas pula. Dia harus mengetahui akan dibawa ke mana orang yang dida’wahi olehnya? Siapa yang dia ajak? Dan bagaimana cara dia berda’wah? Oleh karena itu, mereka berkata tentang orang rabbani: yaitu orang yang berilmu, beramal, dan mengajarkan ilmunya; sebagaimana diisyaratkan dalam firman Allah SWT: “… akan tetapi (dia) berkata, ‘Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani (yang sempurna ilmu dan taqwanya kepada Allah), karena kamu selalu mengajarkan al-Kitab dan disebabkan kamu telah mempelajarinya.” (Ali ‘Imran: 79) Ibn Abbas memberikan penafsiran atas kata “rabbani” sebagai para ahli hikmah sekaligus fuqaha.9 Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan rabbani ialah orang yang mengajar manusia dengan ilmu kecilnya sebelum ilmu itu menjadi besar. Yang dimaksud dengan ilmu kecil ialah ilmu yang sederhana dan persoalannya jelas. Sedangkan ilmu besar ialah ilmu yang pelik-pelik. Ada pula yang mengatakan bahwa rabbani ialah orang yang mengajarkan ilmu-ilmu yang parsial sebelum ilmu-ilmu yang universal, atau ilmu-ilmu cabang sebelum ilmu-ilmu yang pokok, ilmu-ilmu pengantar sebelum ilmu-ilmu yang inti.10 Yang dimaksudkan dengan pernyataan itu ialah bahwa pengajaran itu dilakukan secara bertahap, dengan memperhatikan kondisi dan kemampuan orang yang diajarnya, sehingga dapat ditingkatkan sedikit demi sedikit. Persoalan yang perlu diperhatikan oleh orang yang bergerak dalam bidang da’wah dan pendidikan ialah bahwa juru da’wah dan pendidik itu mesti mengambil jalan yang paling mudah dan bukan jalan yang susah; memberikan kabar gembira dan tidak menakut-nakuti mereka; sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits yang disepakati ke-shahih-annya oleh Bukhari dan Muslim, “Permudahlah dan jangan mempersulit, berilah kabar gembira dan jangan membuat mereka lari.”11 Al-Hafizh ketika memberikan penjelasan terhadap hadits ini mengatakan, “Yang dimaksudkan dengan hal ini ialah menarik simpati hati orang yang hampir dekat dengan Islam, dan tidak melakukan da’wah dengan cara yang keras dan kasar pada awal mula kegiatan da’wah itu. Begitu pula hendaknya kecaman terhadap orang yang suka melakukan kemaksiatan. Kecaman itu hendaknya dilakukan secara bertahap. Karena sesungguhnya sesuatu yang pada tahap awalnya dapat dilakukan dengan mudah, maka orang akan bertambah senang untuk memasukinya dengan hati yang lapang. Pada akhirnya, dia akan bertambah baik sedikit demi sedikit. Berbeda dengan cara berda’wah yang dilakukan dengan keras dan kasar.” 12 Yang dimaksudkan dengan perkataan ,mempermudah, di situ bukanlah terbatas pada orang-orang yang hampir dekat hatinya dengan Islam, sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Hafizh, tetapi ia berlaku lebih umum dan permanen. Misalnya mempermudah jalan bagi orang yang hendak melakukan taubat, atau kepada setiap orang yang memerlukan keringanan; seperti orang yang sakit atau sudah tua usianya, atau orang yang berada di dalam keadaan yang mendesak. Di antara keharusan yang berlaku di dalam ilmu pengetahuan ialah upaya untuk mencari ilmu-ilmu agama sejauh kemampuan yang dimiliki oleh seseorang, sesuai dengan kadar kemampuan otaknya untuk menerima ilmu pengetahuan tersebut. Dia tidak boleh mengucapkan sesuatu yang tidak cocok dengan akal pikirannya, sehingga hal itu malah berbalik menjadi fitnah bagi dirinya dan juga kepada orang lain. Sehubungan dengan hal ini Ali r.a. berkata, “Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan kadar pengetahuan mereka. Tinggalkan apa yang tidak cocok dengan akal pikiran mereka. Apakah engkau menghendaki mereka mengatakan sesuatu yang bohong terhadap Allah dan rasul-Nya?” 13 Ibn Mas’ud r.a. berkata, “Engkau tidak layak menyampaikan sesuatu yang tidak sesuai dengan kadar kemampuan otak mereka. Jika tidak, maka engkau akan menimbulkan fitnah pada sebagian orang itu.”14. Catatan Kaki: 1 Diriwayatkan oleh Ibn ‘Abd al-Barr dan lainnya dari Mu’adz, sebagai hadits marfu’ dan mauquf, tetapi hadits ini lebih benar digolongkan kepada hadits mauquf. ^ 2 Baca, Shahih al-Bukhari dan Fath al-Bari, 1:158-162, cet. Dar al-Fikr yang disalin dari naskah lama.^ 3 Baca Jami’ Bayan al-’Ilm wa Fadhlih, karangan Ibn ‘Abd al-Barr, 1:27, cet. Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah^ 4 Lihatlah sifat-sifat mereka dalam buku al-Lu’lu’ wa al-Marjan fima Ittafaqa ‘alaih al-Syaikhani, khususnya hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Jabir, Abu Sa’id, Ali, dan Sahal bin Hunaif (638-644).^ 5 Hadits Ali, Ibid.^ 6 Ucapan ini dikutip oleh Ibn Hazm dalam bukunya, Miftah Dar al-Sa’adah, h. 82^ 7 Diriwayatkan oleh para penulis Sunan Arba’ah dan al-Hakim; sebagai mana diriwayatkan oleh Thabrani dan Abu Ya’la, dan Baihaqi dari Ibn Umar; seperti yang dimuat di dalam al-Jami’ as-Shaghir. (4446) dan (4447).^ 8 Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Jabir, dan diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, dan al-Hakim dari Ibn ‘Abbas. Lihat Shahih al-Jami’ as-Shaghir (4362) dan (4363).^ 9 Hal ini disebutkan oleh Bukhari ketika memberikan komentar pada bab “Ilmu” dalam Shahih-nya. Al-Hafizh berkata dalam Fath-nya, “Hadits ini sampai Ibn Abi ‘Ashim dengan isnad hasan. Dan juga diriwayatkan oleh al-Khathib dengan isnad hasan yang berbeda.” 1: 161^ 10 al-Fath, 1: 162`^ 11 Diriwayatkan oleh al-Syaikhani dari Anas, sebagaimana disebutkan di dalam al-Lu’lu’ wa al-Marjan^ 12 al-Fath, 1: 163^ 13 Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Kitab al-’Ilm, secara mauquf atas Ali r.a. (Lihar al-Fath. 1 225)^ 14 Diriwayatkan oleh Muslim dalam mukadimah as-Shahih secara mauquf atas Ibn Mas’ud. Ibid.^
ini artikel sebagian dari isi ebook fiqih prioritas oleh qardawi dan bisa di download di sini dengan file yang bernama qardawi.zip
0 komentar:
Posting Komentar